Follow Us @farahzu

Sunday, October 24, 2010

asal jepret

5:47 PM 8 Comments



maksudnya asal jepret, asal aja memotret apa yang tampak menarik. Jadi ini semua hasil jepretan saya yang sangat asal itu. Tanpa editan *ada sih, dikit, yaa, 2-3 foto lah. Itu juga amatiran pisan. haha..

ada yang pake kamera profesional, ada juga kamera digital. tapi banyak juga yang pake kamera hape.

Campur-campur.. Dari tahun 2004 tampaknya

Friday, October 22, 2010

Cerita Nelayan (vs Karyawan)

9:36 AM 11 Comments
Membaca buku tentang perjuangan para guru di pelosok-pelosok nusantara, saya jadi teringat akan sebuah perjalanan di tengah tahun 2009 lalu. Di blog ini, judulnya Trip to Skrip (si). Ya, perjalanan saya seorang diri, ngebolang, mengikuti saran pembimbing skripsi saya yang waktu itu masih ‘mbak’ Ninik L. Karim (pamer, =D), untuk menghabiskan waktu sehari atau setengah hari dengan masyarakat Marunda yang ingin saya teliti. Supaya jelas apa masalah yang mereka hadapi. Supaya jelas manfaat skripsi saya nantinya.
Jadilah, berbekal petunjuk jalan dan angkot dari teman yang tinggal di sana, saya menuju Marunda dan akhirnya sampai setelah hampir putus asa (biasa, nyasar). Seperti, memasuki Cagar Budaya. Hingga sampailah saya di suatu warung, basa-basi beli sesuatu (lupa apaan), sambil nanya-nanya (baca: wawancara) pada ibu pemilik warung.
Alhamdulillah seperti yang saya harapkan, perbincangan ringan itu membuat ibu pemilik warung bercerita banyak tentang masyarakatnya. Tentang mata pencaharian warganya yang nelayan, tentang kesadaran atas pendidikan yang masih minim, hingga tentang bagaimana warungnya laku di sana. =,=”
Beliau telah lama membuka usaha warung. Sebelum di Marunda pesisir seperti sekarang, ia pernah juga membuka warung di Marunda ‘yang bukan pesisir’ (apa ya, saya lupa nama daerahnya), yang sudah lebih ‘kota’ dan kebanyakan warganya adalah karyawan. Menurutnya, meskipun taraf hidup masyarakat di pesisir lebih rendah daripada di ‘bukan pesisir’, namun usaha warungnya lebih maju di pesisir. Katanya, penduduk pesisir yang nelayan malah lebih royal dan lebih banyak jajannya dibanding yang ‘bukan pesisir’ dan karyawan. Awalnya saya sempat bingung dan tidak habis pikir.
Lalu ibu ini menjelaskan.
“Iya Neng, kalo nelayan kan dapat uang tiap hari, jadi ga mikir besok makan apa, besok makan apa,
jadi yang didapat hari ini ya untuk hari ini aja.
Kalau karyawan beda, mereka dapat uang sebulan sekali, jadi harus ngatur uang”.
Ow, di sini kuncinya. Lebih lanjut beliau menjelaskan hipotesis pribadinya. Justru karena setiap hari dapat uang itulah, masyarakat nelayan lebih royal dan merasa tidak perlu mengatur uang. Hal itu juga yang membuat masyarakatnya selalu merasa miskin untuk sekolah, karena tidak pernah punya uang tabungan. Padahal, setiap hari anak-anaknya banyak jajan.
Bukannya saya ingin membagus-baguskan karyawan dibanding yang bukan karyawan, apalagi menjelek-jelekkan nelayan. Nelayan yang independen, tidak bergantung pada orang lain, hanya bergantung pada laut dan alam (harusnya pada Allah). Hanya ingin mengangkat sisi lain dari sebuah realita masyarakat. Bahwa tidak selalu kemampuan untuk mengenyam pendidikan berbanding lurus dengan kemiskinan dan gaya hidup, walaupun yang seringkali terjadi adalah demikian. Kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, kadang kala juga dipengaruhi oleh keinginan kuat masyarakat itu sendiri, untuk mendapatkan pendidikan demi cerahnya kelanjutan hidup generasi berikutnya.
Keinginan kuat masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Bekasi, 22 Oktober 2010
Baca Juga: BPH On Vacation: Ciamis!

Monday, October 18, 2010

homo homini lupus

9:43 AM 14 Comments
HOMO HOMINI LUPUS
Ini bukan puisi,


Ini tentang Jakarta yang semakin mengancam penduduknya.
Tentang kemacetan yang membuat pengguna jalan menyerah pasrah ditawannya, ikhlas mengidap berbagai psikopatologis potensial.
Tentang anehnya segelintir orang, yang mengeluh karena macet dan terlambat masuk kantor, padahal ia, seorang diri saja, mengendarai sebuah mobil

Ini juga tentang jalanan yang amblas dan permukaan tanah yang terus turun
Karena air tanah dipaksa naik tanpa ada batasan
Boros sekali kita mandi dan minum, ya?

Ini tentang polusi yang kian menyumbang jumlah penderita autisma karena timbal yang dihirup ibu-ibu hamil
Yang mengurangi kapasitas paru-paru manusia modern karena mulai terbiasa dengan masker

Tentang bencana yang kian populis, semakin kerap melanda negeri

Tentang Wasior yg kehilangan ratusan penduduknya dalam banjir bandang karena sisa hutan tak sanggup lagi melindungi
Tentang Morowali yang menangis karena longsor dahsyat mengantar maut banyak warganya
Tentang lumpur, kabut asap, banjir yang meluas, sampai sabotase terbakarnya kereta dan chauvinisme berujung perang.
Belum lagi masalah social dan politik yang, errrrr...

Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Lupus
Saling terkam dalam nafsu dan kesenangan pribadi
Bukan hanya berujung pertengkaran, tapi juga yang konon disebut 'bencana alam'

Homo homini lupus
Telahkah manusia sadar, betapa mudahnya merenggut nyawa ratusan orang hanya dengan menebangi hutan seenak hati?

Homo homini lupus
Telahkah manusia sadar, penderitaan penyandang autisma dan gangguan pernapasan yang makin marak kini, bahkan cuaca ekstrim menimbul horor, adalah karena ulahnya?
Mengemudi kendaraan bermotor pribadi ke mana-mana, meskipun hanya seorang diri, atas nama kenyamanan?

Efek rumah kaca, homo homini lupus.

Atau bermandi kemewahan dengan air dan listrik berlebih atas nama modernitas dan 

gaya hidup

Karbon dioksida, metana, cloro fluoro carbon, memerangkap panas bintang
Mencairnya kutub dan tenggelamnya benua, homo homini lupus 
Global warming, perubahan iklim, homo homini lupus





save our earth 

Wednesday, October 13, 2010

Betapa Kita Kaya; hanya dengan sinergi

5:12 PM 8 Comments
Ini hanya tentang sinergi lintasan pikiran. Belum sampai pada sinergi potensi individu apalagi material.
                Alkisah, suatu hari saya mengisi sebuah daurah di STP (Sekolah Tinggi Perikanan), Jakarta. Tentang sebuah materi (sampai sini masih rahasia). Saya terbiasa untuk tidak menyebutkan tema di awal, melainkan mendahuluinya dengan sedikit teka-teki. Kali ini gambar.

 Apa yang terlintas dalam pikiran anda kalau melihat gambar ini?
Audiens menjawab satu-satu,
“antri”,
“gak nunggu teman, ga solider”,
“berusaha keras”
“migrasi”, dan lain-lain.
Kalau kamu, teman?
Sayang tidak ada yang mewakili maksud saya. Di pagi menjelang siang itu, selanjutnya saya berbicara tentang, leadership.
                Cerita lain. Pernah dalam sebuah mentoring di SMA, saya memutarkan sebuah video di awal, sebelum saya menyebutkan materi apa yang akan dibahas hari itu. Sama, saya juga meminta adik-adik manis itu menyebut apa yang terlintas dalam pikiran mereka. Jawabnya,
“hebat”
“luar biasa”
“saling mempengaruhi”
“meski beda meja tapi tetap kompak”
“berkesinambungan”
“langkah kecil yang berefek besar”
Luar biasa jawaban mereka. Padahal yang saya maksud hanya, cermat.
Demikian banyak ternyata, ide yang beragam di dalam kepala-kepala kita. Andai saja kita sering berdiskusi, bertukar pikiran untuk menyelesaikan permasalahan hidup, organisasi, bahkan ummat, masalah-masalah itu akan lebih mudah dan ringan diselesaikan. Karena ada banyak jalan keluar yang ternyata mungkin, menunjukkan (seperti dalam lagu ‘Ya Sudahlah’),
“kau dan aku tau, jalan selalu ada”
Maka itu, dear ummat Islam,
Bersatulah, mari jalin ukhuwah,
KITA KAYA