Follow Us @farahzu

Thursday, November 18, 2010

Kangen Pak Wardi

8:11 AM 5 Comments
        Setiap lebaran, setiap kali takbir menggema di masjid kami, rasanya telingaku selalu mendengarkan suara empuk yang sama setiap tahun. Suara empuk yang sama, dan sangat mengayomi. Atau setiap kali lebaran dan ada kegiatan di masjid seperti kali ini, aku telah terbiasa dengan keberadaannya, berpikir beliau masih ikut aktif bersama kami, sibuk mondar-mandir dengan ketegasan dan kehangatannya. Hingga beberapa tahun belakangan, aku harus menyadarkan diriku sendiri, oh iya, itu bukan Pak Wardi.

"Kenapa ya, orang baik suka dipanggil lebih cepat?"
"Entah, mungkin Allah sudah rindu"

     Hhh.. Demikian kataku, teman-teman, dan ibu-ibu ketika berbincang sambil istirahat menunggu sapi berikutnya. Berbincang tentang kerinduan yang sama untuk Pak Wardi. Tentang ketidaksadaran kami bahwa beliau telah meninggal bertahun-tahun lalu, karena itu tadi, kami masih merasa beliau ada, bersama kami. 
      Jujur ketika mendengar berita kematiannya, aku tidak terlalu sedih. Aku malah setengah tidak percaya bahwa beliau telah meninggal. Rasanya sama, beliau masih akan membersamai kami di setiap kegiatan masjid. Tenang saja, seperti yakin kalau suara beliau masih akan membersamai panggilan demi panggilan di masjid kami. Takbir, shalat, berita duka, acara syi'ar Islam, remaja masjid...
      Suhro Wardi. Ialah tetangga kami, rumahnya di depan masjid, identik dengan kegiatan masjid, lekaaatt sekali di hati warga RW kami. Sejak aku kecil. Siapa tidak kenal Pak Wardi di sini. Ia belum jadi pak haji, hingga ia wafat dengan kerinduan memuncak menjadi tamu Allah. Hingga kini, entah apa saja yang telah ia buat selama hidupnya, setelah bertahun lewat kepergiannya, ia masih terasa hadir bersama kami, terdepan memakmurkan masjid. Merapikan shaf shalat. Menegur anak-anak yang berisik di waktu shalat. Dan suaranya ketika takbir hari raya, ahh, sungguh kami rindu...
 Ya Allah, ampunilah dosa-dosa beliau, lapangkan dan terangilah kuburnya. Berikan tempatnya yang mulia di sisi-Mu, Rabb.. Aaamiin

Tuesday, November 2, 2010

tak pernah ada harga mati untuk sebuah kekurangan

3:16 PM 8 Comments
*Pelajar; Pengangguran Banyak Belajar*
Sekilas, judulnya tampak okei ya? Tapi sebenarnya ini hanya cerita tentang perjalanan pembelajaran saya selama bertahun-tahun. Yah, begitulah saya, seringkali agak lama untuk menguasai suatu hal. Haha… Yang penting kan mau belajar *ngeles. Yap, ini tentang memasak.
Saya belum bisa masak. Tapi, tidak sebelumbisa sebelumnya sih (apa sih). Seperti yang pernah saya ceritakan, sangat sulit bagi saya untuk bisa membuat masakan sendiri yang enak. Semua orang bilang, “nanti juga bisa, yang penting mau belajar”. Ya, saya pun menanamkan kata-kata itu di lubuk hati saya yang terdalam *lebay. Tapi. Saya sempat hampir putus asa sebenarnya, karena kekurangan saya bukannya tidak mau belajar, melainkan pada fisik: lidah saya sangat tidak peka terhadap rasa. =_=”
Suatu saat, orang tua saya pergi ke luar kota selama beberapa hari. Jadilah saya yang sedang tidak ada pekerjaan tetap, tiba-tiba iseng, berkeinginan untuk belajar mengurus rumah seluruhnya. Belajar jadi ibu rumah tangga, hahay! Termasuk masak-masak.
Pada suatu pembicaraan telepon, ibu saya meyakinkan, suatu saat nanti pasti saya akan bisa masak, lebih baik dan lebih enak dari beliau (saya sangsi sebenernya). Beliau mengingatkan tentang diri saya sendiri: meskipun lama bisanya, tapi karena tekun, biasanya malah lebih berhasil daripada yang bisa menguasai lebih cepat. Beliau semakin membuat saya terharu dan menitikkan air mata (lebay, tapi ini beneran) saat bilang, justru penghargaan terhadap sulitnya proses itu yang membuat saya semakin berusaha dan lebih berhasil (hwaaaa!! Hikshiks..).
Hari pertama, saya mengundang teman untuk menginap. Paginya, membuat sarapan. Lebih karena ‘kewajiban’ karena kakak saya mau ngantor, plus ga yakin hasilnya enak, menghasilkan masakan yang agak aneh rasanya. Kebanyakan bawang putih. Untungnya kakak saya tidak sempat sarapan pagi itu. Haha,, dudul ya gue...
Esoknya, saya membuat sarapan lagi. Kali ini yakin, “enak, insya Allah”. Hasilnya, jengjeeeennggg!!! Enak! Apalagi kakak saya sempat sarapan, dan ngasih 2 jempol. Alhamdulillaah ^_^ Di hari itu juga saya memasak yang lain lagi untuk dibawa ke tempat saudara. Alhamdulillaah, bahagia banget rasanya waktu orang-orang menjawab ‘gak ada yang aneh kok’, ketika saya tanya. Itu baru ‘tidak ada yang aneh’, belum saya tanyakan enak atau tidaknya. Ah, tidak aneh saja sudah membuat saya sangat senang ;)
Besoknya, entah saya jadi keranjingan ‘kepercayaan diri’ untuk memasak. Karena itulah kuncinya. Kalau kita ragu akan hasilnya, ternyata masakan malah merefleksikan keraguan itu menjadi ‘rasa yang aneh’. Pede ajee..hehe…
Lalu saya pergi, baru pulang sore harinya. Dan…terharu waktu liat piring saji kosong… masakan saya dilahap habis.. hiks.. alhamdulillaah…
Ah, ini mah curcol pisan. Sebenarnya intinya ya seperti di judul itu, “Tidak pernah ada harga mati untuk sebuah kekurangan”, selama kemauan untuk belajar itu masih ada.
Kemauan, untuk belajar.