Follow Us @farahzu

Monday, December 23, 2013

Ikan Kecil Di Kolam Besar (David and Goliath, Malcolm Gladwell)

16.57 wita. Kriiiiiinngg! "Mba, ke pantry yuk, ada ubi (singkong) sama pisang goreng!" Asik! Hujan dan udara dingin gini memang nikmat sekali makan goreng-gorengan panas 😚 Alhamdulillah. Beres-beres meja, lalu ke pantry menyusul yang lain.

Dari dinding kaca lantai 13, kami dapat melihat dengan jelas ke gedung-gedung di sebelah. Parkiran Bank Sulselbar ramai sejak pagi. Ternyata ada acara beasiswa untuk pelajar SD, untuk anak kelas 1-2 SD, rangking 1-2. Fyi, minggu lalu anak-anak sekolah sudah terima rapor.

Tiba-tiba ada seorang bapak bercerita, anaknya rangking 13. Mirisnya, sebelum terima rapor, sang anak telah sangat optimis bisa jadi rangking 1! Dengan bangganya si anak mewajibkan ayahnya datang untuk mengambil rapornya. Ternyata 13. Anak itu sedih sekali. Prediksinya bukan tidak berdasar; setiap keluar hasil ulangan, iya menunjukkannya dengan bangga, nilainya selalu di atas 80. Tapi ternyata teman-temannya lebih pintar.

Nah. Saat ini, saya sedang membaca buku "David and Goliath"; Malcolm Gladwell. Buku ini membahas mengenai ikan-ikan di kolam-kolam. Mengenai ikan kecil di kolam besar, atau ikan besar di kolam kecil. Kalau Anda jadi ikannya, Anda pilih yang mana?

Kita sedang berbicara tentang konteks; yang membuat ukuran segala sesuatu menjadi relatif. Sekolah-sekolah unggulan selalu merekrut anak-anak dengan prestasi terbaik. Namun dari sekumpulan siswa terbaik, pastinya akan tetap ada siswa yang berada di persentil terbawah. Akan ada 10 murid dengan nilai terendah. Mungkin kita bicara tentang konteks. Bisa saja kita menyebut, tak masalah tidak pintar (menjadi persentil terbawah) selama ada di sekolah terbaik. Sebodoh-bodohnya siswanya, tetap saja pintar. Tak masalah jadi yang terbodoh di Harvard misalnya; tetap saja pintar karena bagaimanapun ia berhasil masuk Harvard. Menjadi ikan kecil di kolam besar. Dan umumnya itulah yang ada di pikiran kita. Sebagaimana dulu saya memilih masuk SMA 1 bukan SMA 2, atau saat memilih UI di pilihan pertama, bukan UNPAD atau UNDIP.

Sayangnya, kita juga harus berbicara tentang kondisi psikologis siswa yang bersangkutan. Bagaimana rasanya menjadi siswa sekolah favorit yang nilainya di bawah rata-rata teman sekelas? Bagaimana rasanya bila setiap hari berada di kelas yang didominasi oleh teman-teman yang lebih pintar? Apakah ia masih akan merasa pintar, karena ia telah diterima menjadi siswa sekolah terbaik? Tentu saja tidak. Kepercayaan diri dan self esteem-nya akan menurun. Dan sedikit banyak akan mempengaruhi hasil belajarnya. Mungkin ini yang terjadi pada anaknya bapak di atas. Mungkin juga ini yang terjadi pada saya *ngeles dari nasib.haha!

Lalu bagaimana dengan ikan besar di kolam kecil? Tentu saja mereka akan lebih nyaman dalam belajar, memiliki self confidence & efficacy yang lebih baik. Tapi kan standard-nya?

Baik, baik. Beberapa penelitian ilmiah yang dimuat dalam buku David & Goliath menjabarkan sebuah fakta menarik. Bahwa setelah dites dengan alat ukur terstandard, nilai 'ikan-ikan besar di kolam kecil' ternyata lebih tinggi daripada 'ikan-ikan kecil di kolam besar'. Fakta lain yang cukup mengenaskan adalah, 'para ikan kecil di kolam besar' memiliki lebih besar kemungkinan untuk putus asa, frustrasi, dan/atau memutuskan untuk keluar dari kolam besar itu, alias dari sekolah unggulan tersebut. Kasihan.

Lantas bagaimana?

Yaaa sebaiknya kita tidak memaksakan kemampuan yang standard untuk masuk dalam kelompok orang-orang dengan kemampuan di atas rata-rata. Kecuali kemampuan standard kita dilengkapi juga dengan kekuatan hati untuk fight dan berusaha sebaik-baiknya, apapun yang terjadi. Kalau kita merasa tidak cukup tough dalam menghadapi rintangan, lebih baik jadi ikan besar di kolam kecil saja. Hasilnya cenderung lebih baik dan optimal :)

No comments:

Post a Comment