Follow Us @farahzu

Thursday, January 30, 2014

move on itu tergantung (fight or flight)

8:20 PM 0 Comments
Kira-kira 3 minggu yang lalu saya nonton dengan suami. Tadinya mau nonton Edensor, tapi ternyata kami telat karena film itu sudah tidak tayang lagi, hiks.. Maklum kami bukan pelanggan bioskop. Akhirnya kami menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Saya sudah pernah baca novelnya, goebahan Boeya Hamka. Dulu, waktu SMP (dulu saya pelanggan setia buku-buku terbitan Balai Pustaka di perpustakaan sekolah, haha). Saya ingat, ceritanya bagus sekali. Bagus! Sangat. Kebiasaan saya, kalau ada novel bagus lalu difilmkan dan saya menontonnya, maka saya akan kecewa. Kecewa karena saya sudah berimajinasi kemana-mana, eh ternyata waktu difilmkan cuma begitu *plak. Tapi kali ini, film ini, saya mau nonton. Tanya kenapa.

Benar bahwa saya sudah tamat membaca ceritanya dan terharu biru luar biasa, waktu SMP. Tapi sayangnya sekarang saya lupa sama sekali ceritanya apa dan bagaimana (*kooook biissaaaa...hahaha >.<!).

Tulisan ini bukan tentang kisah cinta, melainkan tentang move on.

Zainuddin sudah cukup "malang" dengan tidak diakui sebagai masyarakat beradat dan tidak pantas menjadi pendamping bagi Hayati. Tak lain, hanya karena ia bukan keturunan Minangkabau tulen. Ayahnya Minang, tapi ibunya Bugis. "Kemalangannya" bertambah ketika Hayati, gadis impiannya yang telah berjanji setia menunggunya, menerima pinangan lelaki lain. Dari kota, keluarga terpandang, kaya, dan, minang tulen. Zainuddin sungguh terpukul. Ia sakit parah, parah sekali, terkapar lama di tempat tidur.

Suatu hari saudaranya berkata menyadarkan Zainuddin. Mau sampai kapan begini terus? Sedangkan wanita yang ia ratapi tengah berbahagia dengan suaminya. Tragis. Zainuddin bangkit. Mungkin hatinya lelah. Dipikirnya ia bisa saja melupakan Hayati, bila ia merantau ke Jawa, Batavia.

Merantaulah ia. Lalu dengan bakat sastranya, dia menulis. Singkat kata tulisannya laris, dibukukan dan terjual kemana-mana. Lalu dia dipercaya memegang bisnis koleganya dan sukses. Zainuddin telah sukses. Dia berhasil move on. Itu satu.

Banyak orang menitikkan air mata sedih saat adegan Hayati meninggal dengan didampingi kekasih sejatinya, Zainuddin. Saya, juga sih, tapi tidak banyak. Sampai di akhir cerita Zainuddin akhirnya 'berdamai dengan kenyataan dan hatinya', bahwa ia mencintai Hayati dan, bahwa Hayati telah meninggal.

Hati Zainuddin tidak lagi pilu, tidak  bersedih lagi. Tapi air mata saya langsung membanjir saat scene akhir menyorot rumah besar Zainuddin yang ramai dengan anak-anak, menjadi "Rumah Yatim Piatu Hayati". Dan jujur saja, saya adalah audiens terakhir yang meninggalkan ruangan karena masih harus meredakan isak dan ingus dulu. Hehehe..

Itu dua. Dua kali Zainuddin move on, bangkit dari kesedihannya. Dengan dua cara yang berbeda. Pertama ia lari, menghindari hal-hal yang membuatnya sakit. Merantau, dunia baru, kesibukan baru, optimisme baru. Ia berhasil dengan flight-nya.

Kedua, Zainuddin tidak lari. Tetap di rumahnya, bahkan menguburkan jasad Hayati di sana, di dekatnya. Ia berdamai, menerima takdirnya dengan ikhlas. Lalu mengubah energi kesedihan yang negatif menjadi kontribusi positif bagi orang lain. Saya menangis bombay karena ini.
Begitu hebatnya energi orang yang sedih bila diarahkan pada kebaikan. Yang kedua ini, dia fight. Dan berhasil. Dua-duanya berhasil.

Jadi move on itu tergantung; tergantung kita sendiri!

Wednesday, January 8, 2014

(hanya) menarik untuk kita

11:05 AM 0 Comments

Jujur saja, ada tamu yang saya hindari dan kalau boleh saya sangat tidak ingin bertemu. Seseorang itu, pria 30an tahun, dan satu hal, bermata 'mengantuk' (maaf kali ini saya bingung memilih diksi). Dia seorang marketer sebuah lembaga penyedia jasa pelatihan, yang sedang memprospek perusahaan tempat saya bekerja.

Siang menjelang sore kemarin, dia datang, telat dari janji awal jam10 wita. Jadi boleh dong kalau dia menunggu saya agak lama karena banyak pekerjaan yang sedang repot saya selesaikan? :p Ketika kami berbincang, itu yah, lamaaaaa sekali. Padahal hanya mau antar undangan/penawaran program! Dan saya pun mengantuk.

Awalnya, seperti biasa saya masih respek dan sesekali menanggapi 'jualannya'. Tapi saya pikir kok ini pembicaraan jadi jauh ya, jadi lama ya?? Saya mulai diam. Lalu ingat pekerjaan saya yang masih menumpuk, saya semakin diam. Berdoa, semoga sesi tamu ini cepat selesai, ya Allaah...

Dia bercerita tentang program yang ia tawarkan kali itu, lalu tentang project yang sedang dia prospekkan pada kami, lalu tentang perusahaannya, tentang kliennya yang lain, tentang bosnya, tentang semalam dia pulang jam 11 setelah teleconference dengan bosnya membahas project di perusahaan kami, tentang dia baru bertemu klien lain (lagi), tapi seorang pejabat di sana (ibu A) bilang begini, dan pejabat lainnya di sana (bapak B) juga berpendapat sama. Masalahnya, menurut saya kebanyakan yang dikatakannya tidak penting. Tidak ada pengaruhnya dengan perusahaan kami sama sekali. Pun pada kerja sama kami ke depan (kalau jadi). Pun pada program yang dia bawa.  Saya juga tidak kenal (bahkan tidak tahu) mengenai ibu A dan bapak B, tapi, mungkin cerita itu penting buat dia.

Hhmmm. Saya jadi berpikir, jangan-jangan selama ini saya mengobrol, banyak yang hanya penting menurut saya? Tapi tidak penting samsek buat orang yang jadi lawan bicara saya, alias pendengar. Seringkali kita (saya) hanya ingin berbicara dan didengarkan orang lain toh? Tong kosong.

Nah. Maaf bapak. Saya menghindari anda karena salah satunya hal itu. Tapi terima kasih, telah membuat saya berpikir dan introspeksi mengenai penting atau tidaknya pembicaraan saya dengan banyak orang selama ini. Supaya tidak semakin banyak kata yang sia-sia, dan supaya tidak semakin banyak dosa kami.