Follow Us @farahzu

Thursday, October 30, 2014

GPTP Telkomsel Batch 2

1:48 PM 2 Comments
Alhamdulillah, saya bersama Kubik Training berkesempatan mendampingi training 7 hari peserta GPTP (Great People Trainee Program) Telkomsel Batch 2, semacam program MT/MDP-nya Telkomsel. Selama 7 hari (bersih) itu saya menjadi Assisstant Coach untuk kelompok 12 (total ada 14 kelompok).

Capek parah, iya banget. Kami baru bisa tidur paling cepat jam 12 malam (1 hari), sisanya jam 2-2.30 dini hari. Dimana jam 6 atau jam 7 kami sudah harus standby lagi dengan kece sempurna, dengan tingkat konsentrasi 100%. Mohon maaf untuk teman-teman yang ada perlu dengan saya tapi saya hanya bisa balas sebisanya. Maafkaaann…

Saya ga mau cerita tentang program trainingnya sih. Saya cuman mau cerita tentang anak-anak saya kelompok 12 yang saya dampingi, yang sukses membuat saya gagal move on untuk ga ngarep di whatsapp sama mereka pasca training. Kalau dibandingkan dengan kelompok lain, anak-anak ini tidak terlalu menonjol sampai harus diingat oleh semua ascoach dan master coach. Tapi saya salut dengan mereka.

Mereka adalah anak-anak manis, lurus, selalu berpikiran positif, tidak pernah mengeluh, dan siap bekerja keras memenuhi semua challenges yang ‘disediakan’. Tidak seperti kelompok lain, mereka adalah kelompok yang beyond poin; katanya gini, “kita kan bukan kelompok poin, kita kelompok manfaat”, jleb. Saya terharu. Huhuhu…

Dengan 5 pria dan 1 perempuan imut, mereka siap memberikan yag terbaik. Dengan kedewasaan berpikir mereka. Waktu pergantian kapten kelompok, mereka sukses membuat saya menangis di belakang. Sangat solid tapi sangat mandiri. Aahhh…. Kepanjangan kalau mau saya ceritakan prosesnya.

Singkat cerita, setelah acara berakhir malamnya, kami tim kubik baru bisa tertidur pukul 2.30 dini hari. Sebelumnya diinfokan bahwa peserta akan berangkat lagi ke venue berikutnya pukul 6 pagi. Kami dipersilahkan untuk mengantar sampai bis mereka berangkat, tapi tak apa juga bila kami memilih untuk melanjutkan tidur di kasur.

Saya mandi pagi sekitar jam 6 lewat, lalu memakai daster dan siap untuk tidur kembali. Ya sudahlah, saya lelah sekali. Maafkan aku ya teman-teman… tapi ga jadi.

“Mbak, Mbak ga ke lapangan?”, chat wa masuk dari Joko, anggota baru kelompok 12 yang tampaknya memiliki kesan sangat positif setelah pindah ke kelompok kami. Seketika saya mengurungkan niat tidur kembali dan berganti pakaian sambil membalas, “Baru mau. Keburu ga ya kira-kira?” “Ke sini dulu aja Mbak”, kata Mas Joko. Baaaaiikk, saya langsung capcus! Sampai sana, saya sudah ditunggu oleh kelompok 12 untuk pamitan dan foto bersama. Hwaaaaa terharuuuu….

Ingat-ingat hasil personal coaching dan kabar-kabari ya kalau sudah ada di penempatan. Kalian aset besar bagi bangsa ini. Saya bangga pernah mendampingi kalian menemukan GREAT dalam diri kalian masing-masing. Sampai jumpa!
edo-hashfi-riyanda-saya-shelby-joko
aim, ga sempat foto bareng-bareng karena nyari jamnya yg hilang. Alhamdulillah udah foo sama saya sebelumnya

Resign itu Ga Enak, Sumfeeehhh

10:30 AM 0 Comments


Kamis, 2 Oktober 2014, adalah hari terakhir saya menginjakkan kaki di Makassar. Kota kecil yang heboh dan lengkap. Serba mudah. Saya kembali ke Jakarta (Bekasi sih tepatnya, hehehe). 2 tahun kurang 1 minggu saya tinggal di kota daeng, mengikuti suami bertugas di sana. Pada akhirnya, alhamdulillah saya juga punya lingkungan dan pekerjaan sendiri, kehidupan seru sendiri, di Kalla Group.

Saya masih ingat betapa sedihnya hari-hari awal saya meninggalkan tanah jawa. Setiap hari pasti adaaaa aja air mata. Ingat keluarga, ingat teman-teman dan sahabat. Rasanya merantau itu beraaatt sekali.

Tapi percaya atau tidak, saya akhirnya mengalami kesedihan yang sama ketika meninggalkan Makassar, tempat perantauan itu. Terlebih di kantor, ternyata selama 1,5 tahun saya bergabung di holding saya menemukan banyak kawan baik sesama karyawan holding maupun dari semua anak perusahaan. Sedih. Terharu. Nangis. Tapi ada senangnya juga karena di hari terakhir masuk kantor, saya mendapat banyak hadiah dari mereka. Hehehe dasar oportunis.

si 410
dari MT Kalla Group 2014

Terus lagi teman-teman liqo. Mereka adalah teman pertama saya di tanah rantau. Bermaknaaaaa banget kenal mereka. I love them all...

Belum lagi dengan tetangga-tetangga di mess Indah, ibu-ibu yang alhamdulillaah, sempat saya wariskan resep dan cara membuat brownies kukus. Sebagai kenang-kenangan. Dan anak-anak tetangga yang sering bikin ngelus dada, tapi bikin sayang juga waktu mereka selalu berlomba-lomba teriak, “Tante Farah!” di setiap kesempatan saya muncul di penglihatan mereka. Beneran deh, saya belajar banyak tentang bertetangga dari mereka.

 Untuk ke depannya saya mau hati-hati ah. Pisah sama teman-teman itu ga enak. Sama bos yang baik dan lingkungan kerja yang nyaman juga ga enak. Kesimpulannya, resign itu ga enak. Saya mau hati-hati memilih pekerjaan ke depannya. Kalau saya ga suka-suka amat dengan perusahaannya, saya ga mau apply. Karena resign itu ga enak. Seriusan ga enak. Saya juga sebisa mungkin mau berhenti jadi kutu loncat. Yaaa sebenernya juga pindah-pindahnya karena kondisi juga sih, bukan kemauan pribadi. Saya mau cari kerja yang saya suka, dan sepertinya saya akan betah dan ga pindah-pindah lagi dari situ. Insya Allah. Aaamiinn.. Mohon doanya teman-teman. 


Risiko: Wirausaha vs Pesawat Udara

9:52 AM 0 Comments


*latepost*
Beberapa waktu lalu saya diskusi dengan suami tentang risiko berwirausaha; melepas status sebagai karyawan/orang yang dibayar atau digaji lalu mendirikan bisnis sendiri. Pasti banyak yang tidak yakin, tidak berani, takut gagal, takut bangkrut, dan sebagainya.

Tapi coba deh bandingkan dengan risiko naik pesawat udara. Apa risiko terburuknya? Tentu saja pesawat jatuh dari ketinggian dan kehilangan nyawa (Na’udzubillahi min dzalik). Tapi iya kan, risiko itu selalu ada kan? Nah, mana lebih berat, kehilangan harta benda (bangkrut), atau kehilangan nyawa?

Tentu saja menurut kami sih lebih besar risiko kehilangan nyawa. Tapi sepertinya sekarang ini lebih banyak orang yang berani naik pesawat, tapi tidak berani berwirausaha. Kenapa?

Mungkin salah satu alasannya, kalau naik pesawat, ada pilot dan kru yang ahli mengemudikan pesawat. Kita tinggal percaya, dan sedikit berdoa. Lalu kita bisa tidur santai setelahnya.
Tapi kalau wirausaha, kita mau percaya dan serahkan pada siapa? Kita harus meju sendiri, terombang-ambing sendiri, sukses sendiri, atau gagal sendiri. Kita tinggal usaha yang keras, berdiri di atas kaki sendiri, sambil banyak berdoa dan meminta pada Allah. Dan mungkin kita sulit tertidur dengan nyenyak.

Pertanyaannya, setelah sekian banyak pesawat yang jatuh yang kita saksikan di berita, apakah di pesawat itu tidak ada pilot atau kru ahlinya sehingga bisa jatuh?